Selasa, 13 Januari 2009

orang desa aja pemikirannya majuu bangeet

TRILOGI MEDIA BERBASIS KOMUNITAS DI DESA PENDOWOHARJO


Berawal dari sebuah kegelisahan akan kondisi bangsa yang carut-marut, belasan orang muda di desa Timbulharjo-Bantul, berpikir untuk dapat memerangi keboborokan birokrasi dan berkeinginan untuk dapat membelalakkan mata masyarakat sekitarnya. Berjuang dengan segala keterbatasan yang ada, justru memunculkan semangat dan kreatifitas tersendiri bagi Laskar Timbulharjo. Seusai sholat tarawih, mereka sepakat untuk menciptakan sebuah media sederhana, yang mampu mempresentasikan keadaan Desa Timbulharjo. Ternyata obrolan tersebut menjadi embrio bagi kelahiran buletin angkringan, pada tanggal 4 Januari 2000.
Mengapa dinamakan angkringan? Angkringan adalah salah satu tempat sakral di Yogyakarta Di tempat itu, kawula alit yang bertandang tidak hanya mengisi perutnya dengan bungkusan nasi kucing saja. Tapi juga mengisi wawasannya dengan ide dan gagasan yang tercetus di sela-sela obrolan mereka yang akrab dan hangat. Angkringan bagi masyarakat Jogja adalah media untuk berkomunikasi, berdiskusi, bahkan mngkin berdebat. Bisa jadi, sekedar persoalan remeh temeh. Namun, obrolan juga mengenai dunia politik, yang saat ini sedang menjadi topik populer di Indonesia, mungkin saja terjadi. Di Angkringan, kawula alit dapat memberikan penilaian dan gagasan atas hal-hal yang terjadi di sekitarnya.
Filosofi ngobrol ngalor-ngidul di angkringan itulah yang melatarbelakangi nama media yang mereka ciptakan. Dengan modal penggalangan dana dari segenap warga yang peduli akan media, pemuda desa Timbulharjo membidani sebuah buletin mingguan. Buletin Angkringan bak kacang goreng yang dimakan dengan lahap oleh masyarakat Timbulharjo. Buletin ini didistribusikan pada warga masjid seusai sholat Jum’at usai. Awalnya hanya beredar di Dusun Dadapan, namun akhirnya buletin ini menyentuh dusun-dusun se-Desa Timbulharjo.
Sayangnya, buletin ini kurang berpihak pada warga yang masih buta aksara. Banyak informasi yang tidak dapat disampaikan dengan baik, karena masalah waktu (deadline cetak) dan ruang (lay-out buletin). Warga yang haus akan informasi, membuat pemuda desa tak lekas berpuas diri. Mereka mulai memikirkan solusi untuk membuka cakrawala masyarakat Desa Timbulharjo dengan cakupan yang lebih luas lagi. Pemikiran itu berbuah pada mengudaranya Radio Komunitas Angkringan di Desa Timbulharjo, pada bulan Agustus, 2000. Dengan modal sebesar Rp. 300.000,00 mereka membidani kelahiran Radio Komunitas Angkringan. Antena tiang bambu, pemancar radio bekas, dan peralatan siaran hasil pinjaman wargapun menjadi jantung, bagi detak kehidupan Radio Komunitas Angkringan. Dengan peralatan yang sederhana, radio ini dapat didengar oleh sepertiga luas wilayah Desa Timbulharjo. Sama halnya dengan Buletin Angkringan, radio ini juga menyerap sumber daya manusia lokal, dari sekitaran Desa Timbulharjo.
Keberuntungan berpihak pada media komunitas Desa Timbulharjo. Pada bulan Juli di tahun 2000, Buletin Angkringan mengikuti lomba Pers Alternatif. Oleh Institut Studi Arus Informasi, Buletin Angkringan dianugerahi penghargaan khusus dengan kategori ”Pers Desa” serta mendapatkan uang pembinaan sebesar Rp. 2.500.000. Dana itu digunakannya untuk membeli peralatan radio, hingga akhirnya, seluruh kawasan Desa Timbulharjo mampu menangkap siaran yang dipancarkan oleh Radio Komunitas Angkringan. Radio menjadi media yang kritis namun menghibur. Bahkan, kegiatan di seputaran kelurahan tak luput dari incaran pers lokal Timbulharjo. Tata cara mengurus surat-surat di kelurahan disosialisasikan di radio itu, sehingga korupsi pada jajaran birokrasi kelurahan dapat dihentikan. Dengan adanya radio komunitas, pemantauan dan transparansi pemerintahan Desa Timbulharjo dapat terwujud.
Namun, dwilogi media komunitas Desa Pendowoharjo (Buletin dan Radio), memiliki masalah urgensial yang belum teratasi dengan baik. Masalah keuangan adalah masalah klasik bagi media nirlaba berbasis komunitas. Biasanya Mas Gopek (salah satu pelopor lahirnya media komunitas Desa Timbulharjo) menulis proposal, untuk diserahkan kepada PEMKAB Bantul. Sayangnya, pemerintah tidak dapat diandalkan sepenuhnya. Alhasil, patungan dan nombok adalah dua kegiatan yang acapkali mereka lakukan, kalau dapur media mereka tak lagi mengepul.
Gempa yang menghentak Jogjakarta, berimbas juga pada Radio Komunitas Angkringan. Studio rusak parah. Peralatan siaran porak poranda. Bahkan antena nyaris roboh. Keadaan Bantul lumpuh total. Masyarakat mulai apatis terhadap lingkungan sekitarnya. Hal itu wajar, karena bencana telah membuat sebagian besar warga frustasi. Kecenderungan untuk memikirkan dirinya sendiri sangatlah besar. Meskipun demikian, radio ini justru menjadi barak pengungsian yang dihuni 200 warga. Mas Gopek tak tinggal diam. Dia bersedia mengesampingkan kepentingan pribadinya untuk tetap menyiarkan informasi seputar keamanan dan jadwal jaga malam, distribusi bantuan dan hiburan. Empat belas bulan lamanya, dia menggawangi kegiatan radio pasca gempa, seorang diri.
Saat ini, Radio Komunitas Angkringan kembali bergiat. Mocopat dan Sholawat Nabi, menjadi live program yang paling diminati oleh warga Pendowoharjo. Desa ini memiliki karakteristik yang unik. Tak hanya mengandalkan unsur pertanian sebagai penyokong perekonomian, namun juga kerajinan dan kesenian. Masyarakat desa membutuhkan informasi yang lebih luas, untuk memajukan usaha dan kerja mereka. Bahkan, pelajar di Pendowoharjo, juga mulai menginginkan adanya akses untuk memperoleh tambahan ilmu pengetahuan dan informasi beasiswa.
Sama halnya dengan tuntutan perkembangan media diawal, dari buletin berkembang pada radio, jaman kembali menuntut adanya pemekaran media. Dwilogi media komunitas Desa Timbulharjo harus diperbaharui lagi. Karena membludaknya keinginan warga akan informasi, pada tahun 2005 Radio Komunitas Angkringan bergabung dengan Saluran Informasi Akar Rumput (SIAR). Hal itu menjadikan Radio Komunitas Angkringan, dapat membuka jaringan dengan radio komunitas yang lainnya. Tentunya, jaringan kerjasama tersebut dijembatani dengan media internet. Dari sinilah, trilogi media komunitas Desa Timbulharjo muncul. Media internet ternyata mampu menjawab kebutuhan warga akan informasi-informasi yang lebih luas. Bahkan, tak hanya bersifat informatif tapi juga komunikatif. Warga dapat secara aktif memasarkan produk kerajinan ataupun pertaniannya melalui dunia cyber. Pelajar dapat memasukkan aplikasi pendaftaran beasiswa.
KUSIR Angringan adalah nama yang disematkan pada program media komunita ketiga ini. KUSIR sendiri merupakan akronim dari Komputer Untuk Sistem Informasi. Program brilian ini dibidani oleh masyarakat Desa Timbulharjo dengan CRI (Combine Resource Institution). Uniknya, mereka menggunakan wajan, yang merupakan alat penggorengan untuk menerima dan menguatkan sinyal nirkabel yang dipancarkan Radio Angkringan. Selama ini, terdapat sebuah stereotip bagi masyarakat desa, bahwa internet adalah sebuah teknologi canggih, yang hanya dapat digunakan oleh masyarakat berpendidikan tinggi. Namun, dengan digunakannya wajan sebagai salah satu alat untuk menangkap sinyal internet, warga desa mulai mengakrabi teknologi tersebut. Saat ini, sudah ada sembilan orang pelanggan tetap dari KUSIR Angkringan. Mas Gopek berharap, KUSIR Angkringan mampu mencerdaskan masyarakat Desa Pendowoharjo dan menciptakan lapangan kerja yang baru. Harapan itu logis. Mengingat adanya badai krisis global yang menghancurkan perekonomian dunia. Terlebih, bagi Mas Gopek, yang saat ini tengah menganggur. Ataupun, bagi Mas Gopek-Mas Gopek yang lain. Dengan kekuatan informasi dan komunikasi, media komunitas mampu diharapkan dapat menjadi solusi praktis, untuk menjawab tantangan jaman bagi kawula alit. Media komunitas diharapkan mampu memberikan penyegaran masyarakat lokal, untuk terus berjuang dan menentukan nasibnya sendiri (Dessy, 12 Januari 2009)

2 komentar:

dion1711 mengatakan...

wah, patut dicontoh jg nih disini. di perumahan2 biar bikin radio komunitas, kan bs lebih akrab tuh. Inspiring posting.

dedy mengatakan...

di bikinnin usermanager pake mikrotik aja klu udah jalan. jd bisa di publikin